Kekayaan
Budaya Provinsi Aceh atau lebih dikenal
dengan julukan Serambi Mekah banyak dipengaruhi oleh budaya Islam. Dalam hal
Pakaian Adat, pengaruh budaya Islam juga sangat tampak
Warna Kebesaran
Pakaian adat Aceh yang
digunakan laki-laki berwarna hitam, karena warna ini bagi masyarakat Aceh
mengandung makna warna kebesaran. Jika seseorang mengenakan baju dan celana
berwarna hitam berarti orang itu dalam pandangan masyarakat Aceh sedang memakai
pakaian kebesarannya. Lain halnya dengan masyarakat di daerah lain, bila mereka
memakai pakaian kehitam-hitaman bisa berarti mereka mungkin sedang berkabung
karena sesuatu musibah.
Dalam adat Aceh bila seorang pengantin lelaki (Linto
Baro), secara adat ia wajib memakai pakaian warna hitam, tidak
boleh warna lain. Begitu juga jika menghadiri upacara-upacara kebesaran resmi,
laki-laki diharuskan mengenakan pakaian berwarna hitam. Kecuali pada
acara-acara tidak resmi, bisa saja menggunakan pakaian dalam bentuk lain dengan
warna kesukaannya.
Untuk seseorang yang sedang mengadakan upacara kebesaran,
seperti pengantin baru khususnya laki-laki, selain harus mengenakan pakaian
warna hitam, secara adat juga harus menggunakan Kupiah Meukeutop lengkap dengan Teungkulok dan Tampok.
Untuk lebih lengkap lagi khusus bagi pengantin laki-laki ini, pada Kupiah Meukeutop dihiasi mainan atau hiasan seperti prik-prik agar lebih indah.
Pakaian Linto
Baro juga dilengkapi
kain sarung yang dililit dari pinggang hingga di atas lutut. Di bagian pinggang
diselipkan sebilah senjata tajam Aceh, rencong atau siwah. Dalam prosesi
upacara kebesaran senjata tajam yang digunakan seorang Linto Baro sebaiknya siwah, bukan rencong.
Karena, siwah adalah senjata kebesaran Aceh, sedangkan rencong senjata
kepahlawanan.
Sekarang, untuk mendapatkan siwah sangat sulit karena sudah
langka ditemukan dalam masyarakat Aceh. Kalaupun ada, jumlahnya sangat
terbatas, hanya dimiliki kalangan tertentu dari kaum bangsawan, sehingga dalam
upacara-upacara banyak menggunakan rencong. Ini karena rencong lebih mudah
didapatkan dan masih diproduksi sampai sekarang. Saat memakai rencong dan
siwah, tidak lagi dianggap sebagai senjata tetapi sebagai perhiasan.
Kupiah Meukutop
Kopiah Meukutop adalah Topi Adat tradisional Aceh, biasanya digunakan sebagai pelengkap pakaian adat Aceh yang dikenakan oleh pria. Kopiah MeukutopTerbuat dari kain songket Aceh dan pernak-pernik khas Aceh lainnya,Saat ini Kopiah Meukutop dapat juga dijadikan souvenir yang indah dan menarik ,Kopiah Meukutop ini hampir dapat ditemukan di tiap Kabupaten/Kota di Propinsi Aceh, kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang pakaian adatnya berbeda.
Adat Memakai Rencong
Rencong
selain simbol kebesaran para bangsawan, merupakan lambang keberanian para
pejuang dan rakyat Aceh di masa perjuangan. Keberadaan rencong sebagai simbol
keberanian dan kepahlawanan masyarakat Aceh terlihat bahwa hampir setiap
pejuang Aceh, membekali dirinya dengan rencong sebagai alat pertahanan diri.
Namun sekarang, setelah tak lagi lazim digunakan sebagai alat pertahanan diri,
rencong berubah fungsi menjadi barang cinderamata yang dapat ditemukan hampir
di semua toko kerajinan khas Aceh.
Ada satu hal yang harus
diperhatikan dalam memakai rencong, terutama bagi Linto Baro, karena sering
salah letak (lekuk gagang rencong tidak boleh ke bawah, harus ke atas). Karena
bila posisi cunggek rencong itu ke bawah, secara adat Aceh
orang yang memakainya dianggap sedang dalam keadaan bahaya. Tetapi kalau
cunggek rencong yang dipakai itu diposisikan ke atas, secara adat akan
menggambarkan sebaliknya.
Itu sebabnya dalam aturan penggunaan rencong ada ungkapan dalam
masyarakat Aceh: "Pantang peudeung meulinteung sarong, pantang rincong
meulinteung mata". Ini berarti, jika rencong yang dipakainya ber-cunggek ke bawah, berarti mata rencong yang
dipakai (bagian mata rencong yang tajam) melintang ke atas. Dalam filsafat adat
Aceh jika mata rencong yang dipakai seseorang sudah melintang ke atas berarti
orang itu sedang dalam bahaya dan akan siap untuk bertempur.
Jadi, bila Linto
Baro memakai rencong
ber-cunggek ke bawah, secara pemahaman adat Aceh
sangat bertentangan suasana prosesi upacara kebesaran yang tengah dilakoninya.
Logisnya, seorang pengantin baru yang sedang mengikuti upacara perkawinannya
tidak mungkin dalam keadaan tidak aman.
Begitu juga penggunaan kain berwarna pada tebung rencong (antara
sarung dengan gagang). Bagi Linto
Baro atau orang yang
ingin menghadiri suatu seremoni dengan menggunakan pakaian adat Aceh lengkap
dengan rencongnya, maka warna kain yang dipakai pada rencong itu harus warna
kuning. Sedangkan kain warna merah adalah khusus untuk pengawal atau
orang-orang yang akan perang.
Peukayan Lintoe Baroe
(pakaian Pengantin Laki-laki)
Busana
yang dikenakan oleh pengantin laki-laki terdiri atas: tutup kepala/kopiah
(kupiah meukeutob), baju (bajee), celana (siluweue), kain sarung/songket (ija
krong), senjata, sepatu dan hiasan-hiasan (aksesoris) lain. Dengan perkataan
lain, busana pengantin laki-laki terdiri atas 3 bagian, yaitu: atas, tengah,
dan bawah. Sedangkan, perhiasan yang dikenakan terdiri atas: taloe jeuem
(seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh yang disepuh emas); boh ru
bungkoih (sejenis hiasan yang terdiri dari buah eru/cemara dan buah pinang
muda); dan rencong1 (senjata tradisional orang Aceh).
Peukayan Dara Baroe
(pakaian Pengantin Perempuan)
Pakaian adat bagi
perempuan (Dara
Baro) berbeda dengan pakaian adat laki-laki. Atribut pakaian adat
untuk Dara Baro lebih banyak terutama pada perhiasan.
Warna baju Dara Barobukan warna
hitam, tetapi boleh merah, kuning, hijau dan lain-lain. Tapi kalau celana tetap
hitam. Hanya saja, bagi Dara
Baro di bagian bawah
celana memakai bunga kasab. Kalau dulu ada yang namanya celana tunjong yang pinggangnya sangat besar. Tapi
sekarang tidak dipakai lagi.
Cara memakai kain juga berbeda. Kalau laki-laki dililit di
pinggang hingga di atas lutut. Sedangkan perempuan hingga ke bawah lutut.
Kainnya hampir sama yaitu sejenis kain songket.
Pada Dara
Baro, pemakaian atribut perhiasan biasanya sangat banyak. Perhiasan
untuk dara baro dibuat dari emas dan perak bermotif Aceh. Dara baro memakainya
mulai dari rambut sampai ke kaki.
Pinto Aceh
Desain
Pinto Aceh diperoleh dari monumen peninggalan Sultan Iskandarmuda bernama
Pinto Khob . Monumen tersebut yang sekarang di sekitarnya dijadikan taman
rekreasi, terletak di tepi sungai (krueng) Daroy, konon dulunya sebagai pintu
belakang istana Keraton Aceh khusus untuk keluar masuknya permaisuri Sultan
Iskandarmuda beserta dayang-dayangnya kalau sang permaisuri menuju ke tepian
sungai untuk mandi. Sekarang ini taman tersebut diberi nama Tanian Putroe Phang
(Taman Putri Pahang), nama sang permaisuri dari desain gerbang kecil pintu khob
di ambil motif untuk perhiasan yang bernama pintoe aceh.
# Sumber : Kementrian Kebudayaan Republik Indonesia
Komentar
Posting Komentar